Senin, 30 Desember 2013

Iron-Deficiency Anemia: Reexamining the Nature and
Magnitude of the Public Health Problem
An Analysis of Anemia and Pregnancy-Related Maternal Mortality1,2
Bernard J. Brabin,3 Mohammad Hakimi* and David Pelletier†
Liverpool School of Tropical Medicine, Liverpool, England and University of Amsterdam, Emma
Kinderziekenhuis, Academic Medical Centre, Amsterdam, Netherlands; *Gadjah Mada University, Yogyakarta,
Indonesia; and †
Division of Nutritional Sciences, Cornell University, Ithaca, NY 14853
Abstrak
longitudinal and case-control studies because randomized trials were not available for analysis. The
following six methods of estimation of mortality risk were adopted: 1) the correlation of maternal mortality rates with
maternal anemia prevalence derived from national statistics; 2) the proportion of maternal deaths attributable to
anemia; 3) the proportion of anemic women who die; 4) population-attributable risk of maternal mortality due to
anemia; 5) adolescence as a risk factor for anemia-related mortality; and 6) causes of anemia associated with
maternal mortality. The average estimates for all-cause anemia attributable mortality (both direct and indirect) were
6.37, 7.26 and 3.0% for Africa, Asia and Latin America, respectively. Case fatality rates, mainly for hospital studies,
varied from ,1% to .50%. The relative risk of mortality associated with moderate anemia (hemoglobin 40–80 g/L)
was 1.35 [95% confidence interval (CI): 0.92–2.00] and for severe anemia (,47 g/L) was 3.51 (95% CI: 2.05–6.00).
Population-attributable risk estimates can be defended on the basis of the strong association between severe
anemia and maternal 

Method
isted as a direct cause of death in 26% of these reports and as an indirect cause in the remainder. The definitions of anemia vary substantially between studies and many are based on clinical assessment alone; most (88.5%) are hospital based, with a high proportion of complicated deliveries. Anemia was given as a direct cause of between 1 and 46% (mean 10.0%) of maternal deaths in 23 studies. Many reports did not include anemia as a cause of death; most were from Latin America, but 52 studies were from Africa and 45 from Asia. No study lists anemia both as a direct cause for severe cases and indirect cause 

untuk mendapatkan naskah asli...

Jumat, 27 Desember 2013

POTENSI PROTEIN IKAN GABUS DALAM MENCEGAH KWASHIORKOR
PADA BALITA DI PROVINSI JAMBI
Ananda Ulandari, Dedy Kurniawan, Alsa Syafira Putri*

I. PENDAHULUAN 
1.1. Latar Belakang 
Secara umum sangat dipahami bahwa substansi kesehatan dalam tubuh 
seseorang tergantung pada nilai gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsinya 
setiap hari (Sukmono, 2009). 
Menurut Arisman (2009) dalam bukunya mengatakan bahwa keadaan yang 
abnormal (patologis) akibat kekurangan atau kelebihan zat gizi secara relative maupun 
absolute satu atau lebih disebut malnutrisi. Ada empat bentuk malnutrisi yakni (1) 
Under Nutrition ; Kekurangan konsumsi pangan secara relative atau absolute untuk 
periode tertentu. (2) Specific Defisiency ; kekurangan zat gizi tertentu, misalnya1.2. Rumusan Masalah 
1. Bagaimana tumbuh kembang dan gizi pada balita ? 
2. Bagaimana mekanisme terjadinya kwashiorkor ? 
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan 
Tujuan Umum 
Untuk mengkaji manfaat konsumsi ikan gabus pada balita dalam mencegah 
timbulnya kwashiorkor 
Tujuan Khusus 
1. Mengetahui Tumbuh kembang dan gizi pada balita 
2. Mengetahui definisi kwashiorkor 
3. Mengetahui mekanisme terjadinya kwashiorkor 
4. Mengetahui peranan protein ikan gabus dalam mencegah kwashiorkor. 
1.4. Manfaat Penulisan 
Peneliti; menambah pengetahuan dan Bahan Referensi dalam mengkaji mengenai 
manfaat ikan gabus dalam mencegah kwashiorkor pada balita. 
Petugas Kesehatan; bahan masukan dalam upaya promotif mengenai alternative 
pencegahan kwashiorkor pada balitaII. KAJIAN PUSTAKA 
2.1. Tumbuh Kembang dan Gizi pada Balita 
Anak terus tumbuh dan berkembang setiap harinya. Tahun pertama 
kehidupannya, panjang bayi akan bertambah sebanyak 50%, tetapi tidak berlipat setelah 
usia bertambah sampai 4 tahun. Anak yang berumur 1-3 tahun akan mengalami 
pertambahan berat sebanyak 2-2,5 Kg, dan tinggi rata-rata sebesar 12 cm setahun 
(Tahun kedua 12 cm, ketiga 8-9 cm).2.1.1. Marasmus 
Gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat, dengan gejala muka berkerut, 
kelihatan tulang dibawah kulit, rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, 
gangguan pencernaan, pembesaran hati, dan sebagainya. Anak tampak sering rewel 
meskipun telah diberi makan. (Depkes RI, 2000). 
2.1.2. Kwashiorkor 
Penampilan tipe kwashiorkor anak kelihatan gemuk (sugar baby), dietnya 
mengandung cukup energy tapi kekurangan protein, terlihat ada pengecilan jaringan 
(atrofi). Sangat kurus dan bengkak (edema) pada kedua punggung kaki sampai seluruh 
tubuh.III. HASIL DAN PEMBAHASAN 
 Di Negara Indonesia khususnya Provinsi Jambi, angka prevalensi gizi buruk 
masih tinggi. Angka prevalensi KEP nyata selama 5 tahun terakhir yaitu pada tahun 
2006 – 2010 secara rinci perkabupaten sebagai berikut : 
Tabel 2. Prevalensi KEP pada tahun 2006-2010 di Provinsi Jambi 
Tahun 
No Kab / Kota 
2006 2007 2008 2009 2010 
1 Kerinci 66 0 2 7 27 
2 Merangin 44 15 52 3 15 
3 Sarolangun 21 0 18 12 24 
4 Batang hari 17 41 5 17 14 
5 Muaro Jambi 32 14 22 19 17 
6 Tanjab Timur 21 41 65 1 5 
7 Tanjab Barat 46 0 21 0 3 
8 Tebo 0 9 13 2 17 
9 Bungo 42 8 15 7 29 
IV. KESIMPULAN 
Di Provinsi Jambi, berdasarkan hasil RISKESDAS 2007 dan 2010, diketahui 
bahwa angka kejadian gizi buruk terjadi peningkatan diatas angka Nasional, sedangkan 
menurut RISKESDAS 2010 balita yang sangat kurus banyak terdapat di Provinsi Jambi. 
Keadaan gizi buruk pada anak yang banyak terjadi di Provinsi Jambi salah satunya 
adalah kwashiorkor, yaitu suatu kondisi seseorang yang kekurangan protein dibawah 
standar rata-rata kebutuhan normal.

untuk mendapatkan naskah asli....

Kamis, 26 Desember 2013

ANTROPOLOGI DAN KONSEP KEBUDAYAAN

Leonard Siregar
(Dosen Tetap di Jurusan Antropologi Universitas Cenderawasih dan Ketua
Laboratorium Antropologi Universitas Cenderawasih)
A. PENDAHULUAN 
 
Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang 
bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi 
ini juga baru memulai suatu langkah kedalam lapangan dari suatu bidang 
ilmu yang disebut dengan Antropologi. 
 
Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu? Beberapa atau bahkan 
banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya. Beberapa orang 
mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat melalui 
berbagai media baik media cetak maupun media elektronik. Beberapa orang 
lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literature-literature atau 
tulisan-tulisan tentang Antropologi. 
B. BIDANG ILMU ANTROPOLOGI 
 
Dalam kenyataannya, Antropologi mempelajari semua mahluk manusia 
yang pernah hidup pada semua waktu dan semua tempat yang ada di muka 
bumi ini. Mahluk manusia ini hanyalah satu dari sekian banyak bentuk 
mahluk hidup yang ada di bumi ini yang diperkirakan muncul lebih dari 4 
milyar tahun yang laluB.1. Cabang-cabang dalam Ilmu Antropologi 
 
Seperti ilmu-ilmu lain, Antropologi juga mempunyai spesialisasi atau 
pengkhususan. Secara umum ada 3 bidang spesialisasi dari Antropologi, 
yaitu Antropologi Fisik atau sering disebut juga dengan istilah Antropologi 
Ragawi. Arkeologi dan Antropologi Sosial-BudayaB.1.2. Arkeologi 
 
Ahli Arkeologi bekerja mencari benda-benda peninggalan manusia dari 
masa lampau. Mereka akhirnya banyak melakukan penggalian untuk 
menemukan sisa-sisa peralatan hidup atau senjata. Benda –benda ini adalahC. KONSEP KEBUDAYAAN 
 
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan 
Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif 
untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis dll juga 
memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah 

untuk mendapatkan naskah asli,,,

Rabu, 25 Desember 2013

The Journal of Nutrition
Supplement: Iron Works…The John Beard Memorial Symposium
Why Nutritional Iron Deficiency Persists as a
Worldwide Problem1,2
Sean R. Lynch*
Department of Internal Medicine, Eastern Virginia Medical School, Norfolk, VA 23507
Abstract
The earliest studies of food iron absorption employing biosynthetically incorporated radioisotopes were published in the
1950s. Wheat flour has been fortified with iron in Canada, the United Kingdom, and the United States since the 1940s.
However, half a century later, nutritional iron deficiency (ID) is estimated to affect 1.5–2 billion people worldwide. The
reasons for the apparently limited impact of health and nutrition policies aimed at reducing the prevalence of ID in
developing countries are complex. They include uncertainty about the actual prevalence of ID, particularly in regions where
malaria and other infections are endemic, failure of policy makers to recognize the relationships between ID and both
impaired productivity and increased morbidity, concerns about safety and the risks to iron-sufficient individuals if mass
fortification is introduced, and technical obstacles that make it difficult to add bioavailable iron to the diets of those at
greatest risk. It is, however, likely that the next decade will see a marked reduction in the prevalence of ID worldwide.
More specific assessment tools are being standardized and applied to population surveys. The importance of preventing
ID during critical periods of the life cycle is receiving increased attention. Innovative approaches to the delivery of
bioavailable iron have been shown to be efficacious. The importance of integrating strategies to improve iron nutrition with
other health measures, and economic and social policies addressing poverty as well as trade and agriculture, are receiving
increasing consideration. J. Nutr. 141: 763S–768S, 2011.

anemia

HUBUNGAN ANTARA TUBERKULOSIS PARU MILIER DENGAN KEJADIAN ANEMIA PADA
PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUP NTB

Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi kuman
Mycobakterium tuberkulosis komplek.Kuman
ini memiliki bentuk seperti batang yang lurus,
tidak memiliki spora dan tidak memiliki
kapsul.Struktur dinding dari kuman
tuberkolosis memiliki unsur penyusun yang
komplek sehingga menyebabkan bakteri ini
bersifat tahan asam. Tahan asam
dimaksudkan apabila kuman tuberkulosis
dilakukan pengecatan, maka akan tetap
tahan terhadap upaya pelunturan zat warna
yang digunakan dalam pengecatan yakni
alkohol yang bersifat asam.3,7
Tuberkulosis primer 
Tuberkulosis primer adalah infeksi primer
setelah seseorang menghirup kuman
tuberkulosis yang kemudian akan
berkembang menjadi afek primer atau
sarang primer.
Tuberkulosis pasca primer 
Tuberkulosis pasca primer merupakan
penyakit tuberkulosis yang muncul setelah
peroide laten beberapa bulan hingga
tahunan dari infeksi primer.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian
Tabel 1. Frekuensi Pasien TB Paru Milier dan TB Paru yang menjalani rawat inap di RSUP NTB
Periode Januari 2011- Desember 2012.

KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)
TB Paru Millier 17 16,3
TB Paru 87 83,7
TOTAL 104 100

Pada penelitian ini diperoleh jumlah
sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebesar 104 orang, dari
penelusuran data sekunder rekam medis
rawat inap pasien tuberkulosis pada bangsal
bougenville RSUP NTB periode januari 2011
- desember 2012. Dari 104 sampel tersebut
diperoleh jumlah total pasien tuberkulosis
paru miler sebesar 16,3% yaitu 17 sampelTabel 2.Frekuensi Anemia Pada pasien TB Paru dan TB paru millier yang menjalani rawat inap di
RSUP NTB Periode Januari 2011- Desember 2012.

KETERANGAN JUMLAH (ORANG) PERSENTASE (%)
Anemia 86 82,7
Tidak Anemia 18 17,3
TOTAL 104 100

Pada penelitian ini dari total sampel
sebesar 104 pasien (TB paru dan TB paru
millier) 86 (82,7%) diantaranya mengalami
anemia.

Tabel 3. Tabel Perbandingan Kejadian Anemia Pada Pasien TB Paru Milier dan TB paru yang menjalani
rawat inap di RSUP NTB


Pada hasil penelitian ini juga diperoleh
dari 17 sampel TB Paru Milier terdapat 16
sampel diantaranya mengalami anemia dan
dari 87 sampel TB paru tidak milier (hanya
TB paru) sebanyak 70 sampel diantaranya
mengalami anemia.

Pembahasan 
Tuberkulosis secara umum merupakan 
salah satu penyebab tersering terjadinya 
anemia pada laki-laki dewasa dan wanita 
tidak hamil di negara berkembang.Hal 
tersebut dapat terjadi karena tuberkulosis 
dapat mempengaruhi semua seri 
hematopoesis.Penurunan jumlah eritrosit, 
anemia penyakit kronis, fibrosis sumsum 
tulang, infiltrasi amiloid ke sumsum tulang 
dan hipersplenisme dapat terjadi pada 
tuberkulosis yang kemudian menyebabkan 
terjadinya anemia.6
 Hal tersebut sesuai 
dengan hasil penelitian yang diperoleh, yaitu 
didapatkan 82,7% penderita tuberkulosis 
paru yang dirawat di RSUP NTB mengalami 
kejadian anemia. 
Kesimpulan dan Saran 
Kesimpulan 
1. Terdapat 82,7% penderita TB paru yang 
dirawat inap di RSUP NTB mengalami 
kejadian anemia. 
2. Tidak terdapat hubungan antara 
tuberkulosis paru milier dengan kejadian 
anemia pada pasien tuberkulosis paru di 
RSUP NTB 
Saran 
Perlu penelitian lebih lanjut dan 
mendalam untuk mempelajari manifestasi 
kelainan-kelainan hematologis, manifestasi 
klinis pada TB paru milier. 
untuk mendapatkan naskah asli...
Jurnal Kedokteran Unram

Penasehat
Prof. Mulyanto

Editor
 dr. Hamsu Kadriyan, SpTHT.,M.Kes.
 dr. Yunita Sabrina, M.Sc.,Ph.D.
 dr. Arfi Syamsun, SpKF., M.Si.Med.

Dewan Redaksi
 dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)
 dr. Ima Arum Lestarini, M.Si.Med,SpPK
 dr. Ida Ayu Eka Widiastuti, M.Fis.
 dr. Ardiana Ekawanti, M.Kes.
 dr. Nurhidayati, M.Kes.
 dr. Arif Zuhan, SpB
 dr. Fathul Djannah, SpPA
 Siti Rahmatul Aini, SF.Apt.,M.Sc.
 dr. Akhada Maulana, SpU
 dr. Joko Anggoro, M.Sc.,SpPD
 dr. Erwin Kresnoadi, M.Si.Med.,SpAn.
 dr. I G N Ommy Agustriadi, SpPD
 dr. Bambang Priyanto, SpBS
 dr. Seto Priyambodo, M.Sc.
 dr. Pandu Ishak Nandana, SpU
 dr. Dewi Suryani, M.Infectdis(MedMicro)
 dr. Marie Yuni Andari, SpM
 dr. Yunita Hapsari, M.Sc.SpKK
 dr. Monalisa Nasrul, SpM
 Agriana Rosmalina H., M.Farm., Apt

Mitra Bestari
 dr. I Made Jawi, M.Kes. (Bagian Farmakologi FK UNUD)
 dr. Sofwan Dahlan, SpF (Bagian Bioetik FK UNDIP)

Sekretaris
dr. Prima Belia Fathana

Layout dan Percetakan
Syarief Roesmayadi

ISSN : 2301-5977

Jurnal Kedokteran Universitas Mataram
Vol. 2, No. 1, Maret 2013



DAFTAR ISI

Hubungan Infeksi Cacing Usus Terhadap Anemia Defisiensi Besi Pada Siswa Sekolah Dasar
Kelas V Dan Vi Di Desa Dasan Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur
Tahun 2011
Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y ................................................................................. 3

Hubungan Antara Tuberkulosis Paru Milier Dengan Kejadian Anemia Pada Pasien
Tuberkulosis Paru Di RSUP NTB
Gede Wira Buanayuda, Prima Belia Fathana, Novia Andansari Putri ........................................... 10

Perbandingan Efek Pemberian Air Kelapa Muda Dan Air Putih Terhadap Kecepatan
Pemulihan Denyut Nadi Pada Pemain Futsal FK Unram
Ida Ayu Eka Widiastuti, Putu Aditya Wiguna ................................................................................ 19

Diare Rotavirus Di Mataram
Sukardi W, Sulaksmana SP, Wahab A , Soenarto Y …............................................................... 26

Implementation Of Nutrition Curriculum To Undergraduate Students In Faculty Of Medicine,
Mataram University
Eustachius Hagni Wardoyo ............................................................................................................ 34

Peran Ekokardiografi Dalam Penegakan Diagnosis Dan Penilaian Severitas Stenosis Mitral
Basuki Rahmat ..............................................................…………................................................ 42

The Effectiveness Of Exercise And Nutrition Intervention Programmes To Prevent And Manage
Obesity Among Young Population
Rifana Cholidah ..............................………................................................................................... 47

Petunjuk Penulisan Naskah ....................................................................................................... 563

HUBUNGAN INFEKSI CACING USUS TERHADAP ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA SISWA
SEKOLAH DASAR KELAS V DAN VI DI DESA DASAN LEKONG KECAMATAN SUKAMULIA
KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2011

Zunnurul Hayati, Joko Anggoro, Eka Arie Y.
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

Abstract

The Background. Worm infection is a gastrointestinal disease that is characterized by the discovery of
worms, worm eggs or larvae on someone which is the prevalence in Indonesia is still relatively high, especially
in elementary school children. Worm infection often associated with the incidence of iron deficiency anemia is
due to chronic bleeding.
The Research Purposes. The purpose of this study was to determine the relationship of intestinal worm
infections toward iron deficiency anemia in fifth and sixth grade elementary school student in the village of
Dasan Lekong Sukamulia East Lombok District in 2011.
Research Methods. This research was observational study, with study design was cross sectional design.
Research subjects were elementary school students in classes V and VI Dasan Lekong Village East Lombok
District Sukamulia and willing to participate in the study. The subjects selected by Simple Random Sampling.
Collecting data using a questionnaire, stool examination by direct methods, levels of hemoglobin and
erythrocyte indices through a complete blood count. Data collected and presented in tabular/descriptive form.
The Result and Conclusion. This study showed that there was no significant association between worm
infection with the incidence of iron deficiency anemia in student of elementary school classes V and VI in the
Village District Dasan Lekong Sukamulia East Lombok (p=0.091).
Keyword:Worm infection, iron deficiency anemia, elementary school children.

Abstrak

Latar Belakang. Kecacingan adalah suatu penyakit gestrointestinal yang ditandai dengan ditemukannya
cacing, telur, atau larva cacing pada seseorang yang prevalensinya di Indonesia masih tergolong tinggi,
terutama pada anak sekolah dasar. Kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia defisiensi
besi salah satunya akibat perdarahan menahun.
Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan infeksi cacing usus terhadap
anemia defisiensi besi pada siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong Kecamatan
Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011.
Metode Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian observasional, analitik dengan pendekatan secara
cross sectional. Subjek penelitian adalah siswa sekolah dasar kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong
Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian. Subjek
penelitian dipilih dengan cara Simple Random Sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner, pemeriksaan feses dengan metode langsung, kadar hemoglobin dan indeks eritrosit melalui
pemeriksaan darah lengkap. Data dikumpulkan dan disajikan dalam bentuk tabel dengan menggunakan
bantuan.
Hasil dan Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
kecacingan dengan kejadian anemia defisiensi besi pada anak SD kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong
Kecamatan Sukamulia Kabupaten Lombok Timur Tahun 2011 (p = 0,091).
Kata kunci : Kecacingan, anemia defisiensi besi, anak sekolah dasar.

Pendahuluan 
Di Indonesia masih banyak penyakit yang 
merupakan masalah kesehatan, salah satu 
diantaranya ialah cacing perut yang 
ditularkan melalui tanahatau disebut soil 
transmitted helminthesyakni Cacing gelang 
(Ascaris lumbricoides), Cacing cambuk 
(Trichuris trichiura), dan Cacing tambang 
(Necator americanus dan Ancylostoma 
duodenale
Cacingan ini dapat 
mengakibatkan menurunnnya kondisi 
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas 
penderitanya sehingga secara ekonomi 
banyak menyebabkan kerugian, karena 
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan 
protein serta kehilangan darah, sehingga 4 
menurunkan kualitas sumber daya manusia. 
Upaya pemberantasan dan pencegahan 
penyakit cacingan di Indonesia harus 
dilakukan terlebih jika melihat prevalensi 
cacingan di Indonesia pada umumnya masih 
sangat tinggi2
Di Indonesia, angka nasional prevalensi 
kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6% 
masih relatif cukup tinggi.Sejak tahun 2002 
hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan 
secara berurutan adalah sebesar 33,3%, 
33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6% 3
.Hasil 
Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 
2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi 
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-
96,3% 2
Kabupaten Lombok Timur merupakan 
salah satu provinsi yang menjadi target 
pemberantasan dan pencegahan cacingan 
karena mengingat prevalensinya yang masih 
cukup tinggi serta jangkauannya yang masih 
belum merata. Angka cacingan berdasarkan 
hasil pemeriksaan tinja pada survei cacingan 
anak sekolah dasar di Desa Sakra dan 
Keruak pada tahun 2009 adalah 63,2% dan 
32,9%. Hal ini memperlihatkan bahwa belum 
semua kawasan di Kabupaten Lombok Timur 
pernah dilakukan survei untuk mengetahui 
prevalensi cacingan tertutama pada anak 
sekolah dasar yang merupakan salah satu 
target dalam pengupayaan pemberantasan 
dan pencegahan cacingan 2
Anemia merupakan masalah kesehatan 
yang paling sering dijumpai di seluruh 
dunia.Diperkirakan 30%penduduk dunia yaitu 
sekitar 4,5 miliar menderita anemia dan 
sekitar 500 juta orang diantaranya diyakini 
menderita anemia defisiensi besi,terutama 
mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan 
menyusui. 2,4,5
Pendahuluan 
Di Indonesia masih banyak penyakit yang 
merupakan masalah kesehatan, salah satu 
diantaranya ialah cacing perut yang 
ditularkan melalui tanahatau disebut soil 
transmitted helminthesyakni Cacing gelang 
(Ascaris lumbricoides), Cacing cambuk 
(Trichuris trichiura), dan Cacing tambang 
(Necator americanus dan Ancylostoma 
duodenale)
1
.Cacingan ini dapat 
mengakibatkan menurunnnya kondisi 
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas 
penderitanya sehingga secara ekonomi 
banyak menyebabkan kerugian, karena 
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan 
protein serta kehilangan darah, sehingga 4 
 
menurunkan kualitas sumber daya manusia. 
Upaya pemberantasan dan pencegahan 
penyakit cacingan di Indonesia harus 
dilakukan terlebih jika melihat prevalensi 
cacingan di Indonesia pada umumnya masih 
sangat tinggi2
Di Indonesia, angka nasional prevalensi 
kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6% 
masih relatif cukup tinggi.Sejak tahun 2002 
hingga 2006, prevalensi penyakit kecacingan 
secara berurutan adalah sebesar 33,3%, 
33,0%, 46,8%, 28,4% dan 32,6% 3
.Hasil 
Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 
2003 pada 40 sekolah dasar di 10 provinsi 
menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2-
96,3% 2
Kabupaten Lombok Timur merupakan 
salah satu provinsi yang menjadi target 
pemberantasan dan pencegahan cacingan 
karena mengingat prevalensinya yang masih 
cukup tinggi serta jangkauannya yang masih 
belum merata. Angka cacingan berdasarkan 
hasil pemeriksaan tinja pada survei cacingan 
anak sekolah dasar di Desa Sakra dan 
Keruak pada tahun 2009 adalah 63,2% dan 
32,9%. Hal ini memperlihatkan bahwa belum 
semua kawasan di Kabupaten Lombok Timur 
pernah dilakukan survei untuk mengetahui 
prevalensi cacingan tertutama pada anak 
sekolah dasar yang merupakan salah satu 
target dalam pengupayaan pemberantasan 
dan pencegahan cacingan 2
Anemia merupakan masalah kesehatan 
yang paling sering dijumpai di seluruh 
dunia.Diperkirakan 30%penduduk dunia yaitu 
sekitar 4,5 miliar menderita anemia dan 
sekitar 500 juta orang diantaranya diyakini 
menderita anemia defisiensi besi,terutama 
mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan 
menyusui. 2,4,5
Metodologi Penelitian 
Penelitian ini adalah penelitian 
observasional, analitik dengan rancangan 
penelitian cross sectional . Penelitian ini 
dilakukan di SDN yang ada di Desa Dasan 
Lekong Kecamatan Sukamulia Kabupaten 
Lombok Timur yang terdiri dari 6 sekolah 
dasar. Subjek penelitian ini adalah siswa 
kelas V dan VI yang berjumlah 430 siswa 
dengan sampel penelitian sebanyak 65 
siswa.Sampel yang digunakan dalam 
penelitian ini adalah sampel yang memenuhi 
kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi 
meliputi siswa kelas V dan VI yang terdaftar 
secara resmi di SD terkait pada saat 
dilakukan penelitian dan orang tuanya 
menandatangani informed consent. 
Sedangkan kriteria ekslusi meliputi siswa 
yang tidak mengumpulkan kuesioner, siswa 
yang tidak ikut pemeriksaan laboratorium 
dan siswa yang tidak hadir saat dilakukan 
penelitian. Penentuan unit sampel dilakukan 
dengan cara Simple Random 
Sampling.Metode pengambilan data yakni 
dengan kuesioner dan pemeriksaan 
laboratorium (Tinja dan Darah).Pengolahan 
data dilakukan secara analitik dengan teknik 
analisis chi-square untuk mengetahui 
hubungan antara variabel-variabel yang 
diteliti. Analisis yang digunakan untuk 
mengolah data-data yang diperoleh adalah 
dengan menggunakan bantuan software 
SPSS 17. 
 
Hasil Penelitian 
1. Karakteristik Responden 
Pada penelitian, distribusi responden 
berdasarkan jenis kelamin yakni 
berjumlah35 (53,8%) responden untuk jenis 
kelamin perempuan dan 30 (46,2%) 
responden untuk jenis kelamin laki-laki. 
Sedangkan subjek penelitian berdasarkan 
umur yakni masing-masing umur 10 tahun 
yang berjumlah 9 (13,8%) responden, umur 
11 tahun berjumlah 34 (52,3%) responden, 
umur 12 tahun berjumlah 17 (26,2%) 
responden, dan umur 13 tahun berjumlah 5 
(7,7%) responden. 
 
Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan umur 
No Umur (tahun) Frekuensi Persentase (%) 
1 10 9 13,8 
2 11 34 52,3 
3 12 17 26,2 
4 13 5 7,7 
 Total 65 100 
2. Penyakit Kecacingan 
Adapun distribusi penyakit kecacingan 
dari 65 sampel yang telah diteliti yakni 16 
(24,6%) responden positif kecacingan dan 49 
(75,4%) responden lainnya dinyatakan 
negatif kecacingan dengan jenis cacing yang 
paling banyak menginfeksi adalah cacing 
cambuk (Trichuris trichiura) yakni sebanyak 9 
(56,3%) responden dan cacing gelang 
(Ascaris lumbricoides) sebanyak 7 (43,8%) 
responden. 
3. Anemia Defisiensi Besi 
Berdasarkan penelitian yang telah 
dilakukan terhadap 65 orang responden, 
didapatkan sebanyak 5 orang responden 
(7,7%) memiliki kadar hemoglobin kurang 
dari batas normal, dan dapat dimasukkan ke 
dalam kriteria anemia. Sedangkan sebanyak 
60 orang responden (92,3%) memiliki kadar 
hemoglobin dalam batas normal. 
 
4. Hubungan Kecacingan dengan 
Anemia Defisiensi Besi 
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 
5 (7,7%) siswa yang anemia yang masingmasing 3 (18,8%) orang berasal dari 
responden yang positif infeksi cacing dan 
sebanyak 2 (4,1%) orang berasal dari 
responden negatif infeksicacingsehingga 
tidak didapatka hubungan yang bermakna 
antara infeksi cacing dengan anemia 
defisiensi besi (Fisher’s Exact Test = 0,091 
atau p >0,05).Sedangkan responden 
yangtidak mengalami anemia sebanyak 13 
(81,3%) orang pada responden yang 
positifinfeksi cacing dan sebanyak 47 
(95,9%) orang pada responden yang tidak 
terinfeksi cacing. 
Pembahasan 
Pada penelitian yang telah dilakukan, 
distribusi responden berdasarkan jenis 
kelamin didapatkan frekuensi siswa 
perempuan yakni 35 (53,8%) respondendan 
siswa laki-laki sekitar 30 (46,2%) responden 
dengan usia hampir didominasi oleh siswa 
usia 11 tahun yang berjumlah 34 (52,3%) 
responden. 
Dari 65 sampel didapatkan hasil 16 
(24,6%) responden positif terinfeksi cacing 
dengan jenis cacing yang paling banyak 
menginfeksi adalah cacing gelang(Ascaris 
lumbricoides) dan cacing cambuk (Trichuris 
trichiura) yang masing-masing berjumlah 7 
(44%) dan9 (56%)responden sedangkan 
jenis cacing lainnya yakni cacing tambang 
(Necator americanus & Ancylostoma 
duodenal) maupun yang campuran (Ascaris 
lumbricoides&Trichuris trichiura)tidak 
ditemukan. Pada penelitian lain mengenai 
kecacingan yang dilakukan oleh L. Zulhirsan 
(2011) dan Dedek Manu (2011) juga 
mendapatkan hasil yang sama mengenai 
jenis cacing yang paling banyak 
didapatkanmelalui pemeriksaan feses.Hal ini 
karena kedua jenis cacing yakni Ascaris 
lumbricoides dan Trichuris trichiura memiliki 
cara infeksi dan temperatur optimal untuk 
tumbuh hampir sama yaitu di daerah tropis 
dengan tingkat kelembaban cukup tinggi dan 
suhu berkisar antara 250C-300C 9,10,11
Di Kabupaten Lombok Timur, persentase 
angka cacingan pada anak sekolah dasar di 
Desa Sakra dan Keruak pada tahun 2009 
adalah 63,2% dan 32,9% 2
. Selain itu, 
penelitian oleh Buly Fatrahady (2007) 
mengenai prevalensi kecacingan di SDN 
Montong Buak desa Darmaji Kecamatan 
Kopang Lombok Tengah tahun 2007 
mendapatkan hasil 37 (74%) siswa positif 
kecacingan dari 50 sampel sedangkan 
penelitian oleh L Zulhirsan (2011) 
mendapatkan hasil 46 (30,3%) siswa 
dinyatakan positif terinfeksi cacing dengan 
subjek penelitian yakni semua siswa kelas 1 
SDN Banyumulek Kecamatan Kediri tahun 
201112
Anemia defisiensi besi (ADB) dapat 
didefinisikan sebagai suatu kondisi patologis 
pada salah satu komponen darah yakni 
eritrosit, yang diakibatkan defisiensi 
besi.Keadaan ini selanjutnya menyebabkan 
penyediaan besi untuk eritropoesis 
berkurang, yang pada akhirnya 
menyebabkan penurunan jumlah masa 
eritrosit. Sehingga pada pemeriksaan 
laboratorium, didapatkan kadar hemoglobin 
(Hb) yang rendah. Selain itu juga akan 
didapatkan keadaan hipokromik, yang 
ditandai dengan penurunan MCV, MCH dan 
MCHC yang merupakan indikator yang 
sensitif untuk defisiensi besi 13
Hasil penelitian pemeriksaan darah yang 
dilakukan pada responden, sebanyak 5 
(7,7%) orang responden menderita anemia 
yang ditandai dengan kadar 
hemoglobindanindeks eritrosit dibawah 
normal. Dari 5 orang responden tersebut, 
sebanyak 3 (60%) orang responden berasal 
dari responden yang positif terinfeksi cacing 
dan sebanyak 2 (40%) orang responden 
berasal dari responden yang negatif 
terinfeksi cacing. 
Kesimpulan 
Berdasarkan hasil penelitian dan 
pembahasan maka dapat disimpulkan 
bahwa: 
1. Dari 65 sampel yang diambil, prevalensi 
cacingan yang ditemukan dari hasil 
pemeriksaan feses adalah 24,6% 
(sebanyak 16 responden yang terinfeksi 
cacingan) yangdidominasi oleh cacing 
cambuk (Trichuris trichiura) yakni 9 
(56%) responden. 
2. Dari 5 orang yang menderita anemia, 
kejadian anemia defisiensi besi lebih 
banyak pada responden dengan positif 
infeksi cacing dibandingkan dengan 
responden yang negatif terinfeksi cacing 
yakni masing-masing 3 (18,8%) 
respondendan 2(4,1%) responden. 
3. Tidak terdapat hubungan yang bermakna 
antara infeksi kecacingan dengan 
anemia defisiensi besi pada siswa SD 
kelas V dan VI di Desa Dasan Lekong 
dengan p-value 0,091 lebih besar dari 
0,05 (0,091> 0,05). 
 
Daftar Pustaka 
1. FKUI.Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 
Edisi IV. Editor: Sutanto, dkk. Jakarta: 
Departemen Parasitologi Fakultas 
Kedokteran Universitas Indonesia; 2008 
2. Depkes RI. Profil kesehatan Indonesia 
2001. Jakarta; 2004 
------------ Pedoman Umum Program 
Nasional Pemberantasan Cacingan Di 
Era Desentralisasi. Jakarta; 2004 
3. Sumanto D.Faktor Risiko Infeksi Cacing 
Tambang pada Anak Sekolah (Studi 
Kasus Kontrol di Desa Rejosari, 
Karangawen, Demak). 2010 [cited 2011 
Juni 20]. Available from: 
http://www.usus.co.id 
4. Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. 
Jakarta: EGC; 2006 
5. Weiss G, Goodnough LT. Anemia of 
Chronic Disease. Nejm. 2005; 352: 1011-
1023 
6. Mardika S.Hubungan Anemia Defisiensi 
Besi Dengan Tingkat Prestasi Belajar 
Siswa SD di Kota Mataram Tahun 2008. 
Fakultas Kedokteran Universitas 
Mataram; 2008 
7. FAO/WHO.Vitamin and Mineral 
Requirements in Human Nutrition. 2004 
[cited 2011 Juni 20]. Available 
from:http://whqlibdoc.who.int/publications
/2004/9241546123_chap13.pdf. 
8. Rasmaliah. Anemia Kurang Besi dalam 
Hubungannya dengan Infeksi Cacing 
pada Ibu Hamil.2008 [cited 2011 Juni 
20]. Available: http://www.usu.com 
9. Zulhirsan L. Status Gizi Anak Sekolah 
Dasar Negeri Yang Terinfeksi 
Kecacingan Di Banyumulek Kecamatan 
Kediri. Fakultas Kedokteran Universitas 
Mataram; 2011 
10. Dedek M. Profil Kecacingan, Kadar 
HemoglobinDan Gambaran Pemeriksaan 
Apusan Darah TepiPada Perajin 
Gerabah Di Pengodongan Indah, 
Banyumulek, Kediri, Lombok Barat. 
Fakultas Kedokteran Universitas 
Mataram; 2011 
11. Gandahusada S. Parasitologi 
Kedokteran Edisi Ketiga.Jakarta: Balai 
Penerbit FKUI; 2004 
12. Fatrahady B.Hubungan Antara 
Pengetahuan Anak SD Mengenai 
Cacingan dengan Prevalensi cacingan 
pada Anak SD di SDN Montong Buak 
Desa Darmaji Kecamatan Kopang. 
Mataram: Program Studi Pendidikan lihat disini
Dokter Universitas Mataram; 2007 
13. Bakta IM. Pendekatan Terdahap Pasien 
Anemia.Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit 
Dalam. Jilid II. Edisi IV. Editor: Aru W 
Sudoyo, dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan 
Departemen Ilmu Penyakit Dalam 
Fakultas Kedokteran Universitas 
Indonesia; 2009 

Senin, 02 Desember 2013



MEMBRAN SINOVIAL

Membran sinovial adalah membran yang menyekresikan cairan yang sangat kental, yang konsistensinya seperti putih telur. Dalam bahasa Yunani membran sinovial disebut dengan prefiksin yang berararti “seperti” dan “ovum”. Membran ini terdiri atas jaringan ikat yang halus dengan lapisan sel endotel gepeng pada permukaan.
Membran sinovial berfungsi melpisi kavum sendi untuk melumasi gerakan tulang satu sama lain. Membran sinovial merupakan membran fibrosa yang dibungkus epitel.
Membran sinovial ditemukan pada tulang-tulang yang menonjol dan diantara ligamen dan tulang atau tendon dan tulang. Di lokasi inilah sakus-sakus kecil yang disebut bursae, yang berfungsi sebagai bantalan air, memfasilitasigerakan satu bagian pada bagian lain. Misalnya ada bursae di sekeliling sendi bahu, sendi siku dan sendi lutut.
Membran sinovial juga ditemukan membentuk sarung tendon yang membentang sampai tempat insersinya. Misalnya  tendon dan otot di lengan atas dan tungkai masing-masing terdapat di sepanjang tangan dan kaki serta menggerakkan jari-jari tangan dan kaki.
Hubungan membran sinovial dengan zat gizi adalah cairan dari membran ini merupakan minyak pelumas sendi
Sumber : Roger watson dalam buku anatomi dan fisiologi untuk perawat edisi 10.
Gambar :